Ketika Lelah Sambutlah Hikmah
~Humaira Ririn~

Ia melangkahkan kakinya dengan tergesa-gesa menuju tempatnya biasa berkumpul dengan teman-temannya. Sudah hampir mendekati waktu yang disepakati. Ia sosok perempuan yang anti sekali datang terlambat. Maka ia pacu kakinya untuk bergerak cepat. Sesampainya di sana, lima menit berlalu dari waktu yang sudah ditentukan. Krik. Krik. Tak seorang pun terlihat. Ia pun duduk selonjoran melepas penat ketergesaan yang ia alami beberapa menit yang lalu.



Ia adalah Rafika. Gadis manis berkulit putih yang selalu berpenampilan rapi. Pakaian resminya ketika keluar rumah adalah rok panjang, baju longgar dan kerudung yang menjuntai menutupi dada. Gadis yang sedang menimba ilmu di fakultas kedokteran gigi ini sudah satu tahun terakhir aktif sebagai anggota rohis universitasnya. Gamais, itulah nama organisasinya, singkatan dari Keluarga Mahasiswa Islam.

Tak lama setelah Fika datang, muncul lah seorang perempuan berbadan kecil dengan sorot mata tajam. Ia adalah Muti, teman seperjuangan Fika di sini. Muti adalah perempuan yang cerdas, kecerdasan yang terasah dari kebiasaannya membaca buku dan berdiskusi.

“Fikaa, maaf yaa aku telat. Wah, cowok-cowok itu mana? Kok belum pada datang sih?” Sapa Muti yang kemudian menyalami Fika dan menyusul duduk di sampingnya.
“Iya Muti nggak papa kok, hehe, iya nih mereka belum datang. Padahal aku tadi udah ngebut-ngebut biar nggak telat.” Jawab Fika.

“Aku tadi melihat si Agung kok, sepertinya dia udah di sekretariat. Tapi kok belum ke sini yaa?”

Keduanya terdiam, larut dengan pikiran masing-masing. Sudah 2 bulan lebih mereka menghabiskan waktu hampir setiap hari untuk berdiskusi, menggodog sebuah acara besar yang sampai saat ini belum terlihat jelas gambarannya. Masing-masing sudah merasa capai. Kapan semua ini selesai?

Dua gadis ini bisa dikatakan paling niat dibanding dua orang lain dalam tim. Tim kecil ini berisi dua orang laki-laki dan dua orang perempuan. Seringnya dua laki-laki ini datang dan pergi. Terkadang dengan izin, tapi tak jarang juga tanpa keterangan.

“Kita harus bagaimana lagi bersikap dengan mereka Muti? Aih, mahasiswa baru sebentar lagi udah mau masuk kampus lho. Sedangkan konsep acara kita untuk menyambut mereka belum tuntas juga. Padahal ini adalah momentum untuk menarik mereka bergabung ke Gamais.” Fika memecah kesunyian di antara mereka berdua dengan menyampaikan apa yang selama ini ia pendam. Kekhawatiran, akan waktu yang semakin sempit. Dan persiapan yang kurang matang.

Gagal merencanakan berarti merencanakan kegagalan. Begitulah kata pepatah yang pernah didengar oleh Fika. Dan ia pun mulai gelisah dengan keadaan dalam tim inti ini. Kurang komunikasi dan koordinasi, terutama dengan Agung dan Bagus, dua laki-laki yang tergabung dalam tim ini.

“Entahlah Fik, kita doakan saja mereka. Kita udah berusaha tegas sama mereka, udah sering mengingatkan tentang komitmen. Mungkin nanti bisa kita laporkan pada pengurus harian. kak Sofi atau siapa lah nanti.” Muti berusaha menenangkan Fika.

Obrolan berhenti sampai di situ. Keduanya kembali terdiam. Fika yang berjiwa sosial media sudah tenggelam dalam selancarnya di dunia maya. Sedangkan Muti, ia membuka-buka lagi file hasil diskusi terakhir sembari memikirkan hal-hal yang hendak ia evaluasi nanti.

“Mutiiiii…” panggil Fika dengan suara tertahan.

“iya Fik, ada apa e?” Muti menjawab dengan agak bingung. Rafika memang aneh, ah zaman sekarang gadget memang membuat orang semakin aneh, terkadang tertawa-tawa sendiri ketika membaca apa yang ada di dalamnya.

“Baca deh ini, chat dari si Agung. Dia bilang mau mengundurkan diri dari kepanitiaan ini. Ah, apa banget deh dia nih. Dia bilang alasannya karena tahun ini dia mau ikut ujian masuk lagi. ” Cetus Fika sembari mengulurkan gadgetnya pada Muti. Muti membacanya, kemudian mengulurkan lagi gadget itu tanpa respon atau pun komentar.

“Bagaimana ya, aku speechless, nggak ngerti lagi lah.”

“Perjuangan kita belum selesai Muti, kita harus saling menguatkan dan saling menjaga. Meskipun aku tahu, kamu juga punya kesibukan di luar sana. Aku pun jua. Tapi aku percaya kamu adalah orang yang berkomitmen tinggi Muti.”

Fika menatap Muti dengan penuh harap. Bagi Fika ketika sudah terjun dalam medan juang tiada pilihan lain selain maju ke depan dan selesaikan. Selesaikan apa yang sudah kamu mulai!

Pagi itu berlalu begitu saja. Pagi yang mendung bagi kedua gadis ini. Perjuangan masih panjang. Dan personil berkurang satu. Mereka harus kuat!

Hilang satu tumbuh seribu.

Kata pepatah, mati satu tumbuh seribu. Begitu juga sepertinya berlaku di jalan perjuangan ini. setelah kemunduran Agung, datanglah sosok baru. Sosok yang membawa energi baru dalam kapal perjuangan ini. Hasbi. Seorang kepala departemen Pengabdian Masyarakat yang akhirnya rela turun jabatan menjadi panglima dalam perjuangan ini.

Hasbi adalah sosok yang profesional, bisa dikatakan lebih profesional dibanding Agung maupun Bagus yang sering datang dan pergi begitu saja. Visioner? Mungkin bisa jadi. Pasca bergabungnya Hasbi dalam barisan perjuangan itu, tugas-tugas mereka mengalami kemajuan.

Hasbi memang memiliki karakter kerja yang cepat dan cekatan. Apa-apa ingin segera ia selesaikan. Ia juga langsung ikut menuntaskan ‘PR-PR’ yang ditinggalkan Agung. Fika dan Muti pun kembali bersemangat. Bala bantuan telah datang.

Sampai dijuluki Mansyur

Syuro atau musyawarah, sebenarnya adalah hal yang lazim dalam sebuah organisasi. Terlebih ketika ada proyek yang memerlukan diskusi mendalam. Untuk mencapai tujuan bersama, maka syuro adalah jalannya. Jalan untuk menyamakan persepsi-persepsi itu menjadi satu tujuan. Hal yang biasa, tetapi menjadi tak biasa bagi beberapa orang.

Mansyur? Apa itu? Manusia syuro. Ah, tidak di asrama tidak pula di Gamais, Fika jadi bulan-bulanan sebagai ahli syuro lantaran hampir tiap hari syuro. Setiap ditanya oleh seorang teman, “Fika ada agenda apa sore ini?” Fika akan menjawab dengan jawaban yang hampir sama setiap harinya, aku ada syuro. Keesokan harinya pertanyaan mereka mulai berbeda, “Fika kamu nggak syuro?”

Hah, mungkin itu hanya bercandaan atau bahkan memang benar-benar sindiran. Entah lah apa maksud mereka, Fika tidak paham. Sesungguhnya hal itu justru melemahkan semangatnya. Fika bukanlah tipe orang yang abai dengan komentar orang lain. Maka apapun komentar orang bisa jadi mempengaruhi mood-nya, inilah salah satu kekurangan Fika. Ia mulai bertanya-tanya kenapa semua ini tak kunjung usai. Berbulan-bulan syuro, hampir tiap hari, hasilnya apa? Belum terlihat sama sekali.

Seorang kakak tingkat pernah menyampaikan padanya, “Kelak, justru itulah yang akan kamu rindukan Dek.” Ah iyakah? Justru aku muak dengan ini semua, pikir Fika dalam hati.

Ting tong, layar gadget Fika berkedip, menandakan adanya pesan masuk.

“Fik, sore ini kita syuro lagi ya, bahas konsepan yang kemarin kan belum selesai. Oke, hehe. Jam biasa di tempat biasa.”

Pesan dari Hasbi. Antara hendak tertawa atau menangis Fika mengetikkan jawaban dari sang pengirim pesan.

“Bi, kamu nggak lelah apa tiap hari syuro, tiap hari diskusi dengan banyak orang, aku sampai dijuluki ahli syuro lho sama anak-anak asrama, sama anak-anak Gamais.”
Kata-kata keluar begitu saja dari hati Fika. Ia hanya ingin tahu bagaimana pendapat Hasbi. Sekaligus ngetes seberapa tangguh orang satu ini.

“Nggak lah Fik, ini kan bagian dari kewajibanku. Maka aku harus menjalankannya dengan baik. Nggak papa, semoga ini semua dicatat sebagai kebaikan di sisi Allah.”

Haduh ini anak, gerutu Fika dalam hati. Tapi memang benar apa yang ia katakan. Fika pun ingin semua ini segera selesai. Fika tak ingin jadi benalu yang menghambat perjuangan teman teman lain. Maka setelah kuliah ia pacu motornya menuju tempat biasa, sudut lain masjid kampus yang sudah secara tidak resmi menjadi markas mereka, bertemu dengan rekan-rekan seperjuangan. Perjuangan belum berakhir Fik!

Dikejar-kejar deadline.

Hari-hari berikutnya ritme kehidupan Fika berubah. Tak lagi saban hari syuro. Tapi tetap saja perjuangan belum usai. Ia masih harus berkutat dengan ‘PR-PR’ lain, TOR dan hal-hal lain menunggu untuk diselesaikan.

Kewajiban sebagai tim inti bukan hanya menyelesaikan konsep acara lalu ditinggal pergi, bukan. Ada kewajiban lain, masing-masing bertanggung jawab memastikan acara dapat berjalan lancar, pembicara fiks, dana usaha tercukupi. Aih, yang terakhir itu terlihat agak berat.

Ketika lelah…

“Fika, aku perlu ketemu sama kamu, ada yang perlu aku sampaikan nih. Urgent. Sore ini yaa. Ini menyangkut hidup dan mati acara kita!” kata-kata di seberang sana ibarat sengatan lebah di pagi hari. Betapa tidak, tiba-tiba saja mendapat telepon di pagi buta yang bawa kata hidup mati.

 “Apaan sih, Ki. Kamu kenapa e?” sahut Fika sekenanya.

“Pokoknya kita harus ketemu‼” tut tut tut…

Kiki, teman Fika di Gamais yang tergabung dalam tim pencarian dana tiba-tiba menelepon. Kala itu Fika baru saja menyelesaikan tilawah satu juz-nya. Fika sebagai seorang sahabat yang sudah mengenalnya sejak pertama masuk Gamais paham bahwa Kiki tidak bisa dibiarkan begitu saja. Anak satu ini paling mudah galau. Fika bertekad untuk menemuinya nanti pasca kuliah.

Sore itu mereka bertemu, di rumah makan. Bosen lah ya, ketemu di tempat yang sama bernama maskam. Bukan bosan dengan maskam-nya, hanya bosan dengan rutinitas rapat-rapat itu. Fika dan Kiki sudah duduk saling berhadap-hadapan. Mereka terlihat serius bercengkerama. Sesekali Aisy menatap Kiki yang sedang bercerita dengan ekspresi kaget, terkadang diselingi dengan tawa kecil. Ah, aneh sekali.

“Fik, aku rasanya mau mundur aja deh dari kepanitiaan ini. Kamu tahu sendiri kan, IP-ku kemarin jeblok banget. Capek mikir cari uang buat acara ini. Tiap hari jualan tapi akhirnya di makan sendiri. Pontang-panting kesana kesini tapi hasilnya nihil. Lagian ngapain sih kita bikin acara gedhe-gedhe cuma buat Maba? Mending aku mikirin kuliahku.” Kiki menyampaikan semua itu dengan air muka yang kusut. Nampak sekali ia banyak pikiran. Mungkin juga sudah dua hari tidak tidur.

Fika terdiam, berusaha mencerna setiap kata yang diucapkan oleh Kiki. Sejujurnya hal ini berat juga untuk Fika. Pasca pengunduran diri Agung, pasukan inti mengalami sedikit goncangan. Dengan sedikit kerja keras Fika dan Muti pun berusaha menyeimbangkan goncangan tersebut. Sekarang sepertinya guncangan itu belum usai.

“Ki, bagaimana perasaanmu bergabung di Gamais?”

Bukannya menjawab keluhan Kiki, Fika justru bertanya balik pada Kiki. Orang yang ditanya malah kebingungan.

“Emm, sejujurnya senang sih. Siapa pula yang nggak senang berada dalam lingkaran orang-orang baik yang selalu berusaha untuk memperbaiki diri.” jawab Kiki polos.

“Nah, itu dia poin pentingnya. Kita tidak ingin adek-adek mahasiswa baru menemukan lingkungan yang salah. Kita ingin mereka juga merasakan kebahagiaan berada dalam lingkaran kebaikan ini. Lingkaran kebaikan yang tiada putusnya.” Fika menanggapi Kiki dengan lembut.

Kiki menangis di hadapan Fika. Hal yang tak pernah terjadi sebelumnya. Dibenturkan dengan kondisi akademik yang sedang kritis, kondisi amanah yang belum selesai. Kebingungan hanya kebingungan.

Ting tong. Gadget mungil Fika berkedip. Sebuah pesan panggilan. Dari Hasbi.

“Halo, Fika. Bagaimana ini, proposal kita ditolak sama rektorat. Tim danus gerak ke sponsorship juga belum ada hasil. Pembicara susah sekali dihubungi. Ini acara kita bagaimana???”

Seolah-olah masalah datang berturut-turut. Dua bulan ini akan sia-sia ketika dalam hal teknis berantakan. Awak yang mulai lelah hingga timbul keinginan untuk menyerah. Duh, jika sebenarnya ditanya siapa pula yang mau seperti ini.

Fika sama seperti lainnya, juga kuliah, juga punya tugas, juga punya amanah orang tua di sini. Terlebih ia adalah anak asrama yang pasti pula ada tugas asrama. Ia mencoba untuk tidak tergesa dalam menentukan langkah. Tapi di kala raga mulai lelah, kemana kah harusnya ia berkeluh kesah?

Fika melangkahkan kakinya, ke sudut maskam lantai dua. Terpekur menghayati perjalanannya selama ini di tim inti. Menjadi pejuang adalah pilihan, ia yakin itu. Dan pasti ada konsekuensi dari setiap pilihan. Entah itu waktu yang terasa lebih sempit, tubuh yang dipaksa untuk bergerak lebih jauh. Berbeda sungguh berbeda dengan kehidupan orang yang tidak memilih jalan juang sebagai jalan hidupnya.

“Dek, tahu sekretariat Gamais nggak?” sapa seorang wanita berwajah teduh yang tiba-tiba sudah berada di samping Fika. Agak sedikit terperanjat Fika pun spontan menyunggingkan senyuman.

“Eh, iya Bu. Ibu ada perlu apa ke sana? Saya juga salah seorang anggota Gamais, hehe. Mari saya antarkan.” Sambut Fika.

“Oh, adek namanya siapa?”

Terjadilah obrolan singkat di antara mereka berdua. Ternyata wanita itu satu almamater dengan Fika. Ia pun dulu juga tergabung dalam barisan pengurus Gamais. Mereka akhirnya berkisah panjang lebar tenttang pengalaman kala di Gamais. Fika banyak belajar dari wanita itu.

“Dek, saya sangat mendukung kegiatan yang diadakan oleh temen-temen Gamais, terutama kegiatan penyambutan mahasiswa baru itu. Mereka benar-benar perlu didekati sejak awal agar tidak salah memilih lingkungan. Ini saya kasih CP alumni Gamais tahun 2000 yang sudah sukses dan saya jamin beliau bisa mengisi acara tersebutt. Oh ya, ini ada sedikit donasi untuk acara tersebut. Semoga bisa membantu.”

Mengejutkan sekali, rejeki datang dari arah yang tidak disangka-sangka. Siapa kira Fika akan bertemu sosok wanita berwajah teduh itu. Siapa sangka ia akan mendapat bantuan darinya

Selepas kepergian wanita berwajah teduh itu, Fika membuka amplop yang berada di tangannya. Berisi cek 20 juta. Masya Allah. Ini lebih dari cukup unttuk penyelenggaraan acara ini, batin Fika. Fika pun langsung mengontak rekan satu timnya.

“Hasbi, ada kabar baik. Alhamdulillah saya dapat CP pembicara yang bisa mengisi acara kita.”

“alhamdulillah ^_^”

“Bi, tolong sampaikan kepada teman-teman, sudah tak perlu lagi memusingkan tentang dana. Insya Allah cukup. Ada bantuan dana dari hamba Allah. Alhamdulillah.”

“Fik? Beneran? Berapa? Masya Allah? Benarkan Fik, Allah Maha Melihat. Allah tidak akan pernah meninggalkan kita. Setiap jiwa akan dibalas sesuai apa yang ia usahakan. Semoga usaha kita selama ini selalui diberkahi oleh-Nya.”

“aamiiin..”

Fika melangkahkan kaki dengan senyum tersungging di bibirnya. Di sudut matanya ada sedikit butiran bening, air mata haru dan bahagia. Mengenang perjalanannya selama ini, mengenang rapat-rapat yang ia jalani, sampai dijuluki ahli syuro, sampai terkadang harus begadang, sampai pernah bolos kuliah. Tapi, insya Allah semuanya berakhir indah. Karena ia dan teman-temannya percaya. Allah, Tuhan Yang Esa tak pernah meninggalkannya.

“Tuhanmu tidak meninggalkan engkau, dan tidak pula membencimu. Dan sungguh yang kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang permulaan.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The book of Ikigai

Mau dibawa kemana nasib bangsa ini?

-Seeing the struggle of mothers-