"Maktuuub!"

Kata ini ternyata tak hanya bumbu dalam sebuah cerita karya ust Salim A Fillah #SangPangeranDanJanissaryTerakhir. Lebih dari itu. Jika dimaknai lebih dalam, diucapkan dengan tulus, bukankah ia terasa seperti obat? Bukan obat yang pahit itu, tapi obat bagi hati, menenangkan. Bisa jadi self healing kalau bahasa kekiniannya.


Saat bahagia datang, pun saat gundah melanda, kita berucap lirih -maktuuub. Bahwa segala sesuatunya telah dituliskan, entah bahagia, atau gundah gulana, entah ujian yang terasa berat atau nikmat yang terasa meringankan hati. Hingga kita pun bisa menyikapi peristiwa menyedihkan atau pun menyenangkan dengan sebijak mungkin. Tak terlalu bahagia saat nikmat datang menyapa atau tak terlalu terpuruk saat ujian datang mendera. Karena katanya yang "terlalu terlalu" itu ujungnya tak baik. Senantiasa sabar dan syukur. Alangkah indahnya.

Bukankah memang segala sesuatunya telah tertulis? Jauuuh sebelum mata kita mampu melihat atau kaki mungil kita mampu menjejak dunia. Kapan lulus, kapan mendapatkan pekerjaan, kapan menikah, kapan punya anak, kapan meninggal, hingga berbagai pertanyaan tentang pencapaian-pencapaian hidup itu, bukankah sudah tertulis?

Mungkin ada sebersit tanya, lantas jika memang sudah tertulis sedemikian rupa, apa guna ikhtiar kita?

Kita memang tak tahu jalan cerita kita seperti apa, yang diperintahkan kepada kita hanyalah berikhtiar, beramal sebaik mungkin. Kadang ikhtiar kita tak selalu bertemu dengan cita-cita kita, mungkin justru membuahkan hasil yang jauh berbeda dari apa yang kita minta. Tapi, bukankah apa yang kita suka (cita-citakan) belum tentu baik untuk kita. Dan apa yang tak kita inginkan, belum tentu buruk untuk kita. Bahkan sesungguhnya yang kita ketahui tentang diri kita, hanya sebagian kecil saja. Dia -Allah- Yang Menciptakan kita tentu lebih tahu.

Maka, bukankah sebaiknya yang kita harap dari ikhtiar kita adalah pahala dan keberkahan yang mengalir dari setiap prosesnya? Alangkah hinanya jika keberhasilan selalu diukur dengan pencapaian tertentu, apalagi dibandingkan dengan pencapaian orang lain. Kita adalah kita, mereka adalah mereka. Jalan cerita yang tertulis pasti berbeda-beda. Sungguh, bukankah dari sini kita bisa melihat betapa Allah Maha Adil bagi setiap hamba-Nya. Bukan semata-mata hasil yang dinilai oleh-Nya. Tapi bagaimana ikhtiar kita. Mana dari kita yang lebih baik amalnya, yang lebih baik ikhtiarnya. Bukan siapa lebih cepat mencapai titik tertentu, atau siapa lebih banyak mendapatkan sesuatu. Tapi bagaimana proses kita dalam mencapai sesuatu.

Karena segala sesuatu telah dituliskan, maka ikhtiar-ikhtiar kita adalah karunia dari Allah untuk memperberat timbangan amal kebaikan, memperbanyak bekal. Hingga kelak Ia meridhoi ikhtiar-ikhtiar kita dan berkata:

يٰٓاَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَىِٕنَّةُۙ

"Wahai jiwa yang tenang!"
QS. Al-Fajr[89]:27

ارْجِعِيْٓ اِلٰى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةًۚ

"Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diridai-Nya."
QS. Al-Fajr[89]:28

فَادْخُلِيْ فِيْ عِبٰدِيْۙ

"Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku,"
QS. Al-Fajr[89]:29

وَادْخُلِيْ جَنَّتِيْ ࣖࣖ

"dan masuklah ke dalam surga-Ku."
QS. Al-Fajr[89]:30

#SelfHealing #NotetoSelf

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

The book of Ikigai

-Seeing the struggle of mothers-

Mau dibawa kemana nasib bangsa ini?