Sebuah catatan di Ngaji Akbar Masjid Jogokariyan
Hari itu aku berangkat dari rumah dengan
membawa kegundahan di hati. Gundah gundala #eh gulana, karena apa, pun tak
jelas sebabnya. Mungkin salah satunya karena belum jelas siapa yang akan
menemani hadir ke Jogokariyan. Bukan apa-apa, karena acara puncaknya sudah
hampir bisa dipastikan berlangsung pada malam hari. Sedangkan aku sebenarnya
sangat tidak suka pergi sendirian di malam hari. Mencoba mengajak beberapa
teman bergabung, ada yang ingin hadir tapi tidak bisa karena kerja, ada yang
urung hadir karena sudah pasti di sana akan ramai sekali (iya sih), ada pula
yang enggan karena “Jogokariyan jauh banget”. It’s okay. I’m trying to cheer up
myself. Allah will show me the way!
Tadinya aku berpikir, ya kalau pada akhirnya
tak ada yang bisa menemani hadir di acara puncaknya, minimal aku bisa hadir di
sesi pertama. Berharap dapat keberkahan hadir di majelis ilmu, walaupun
sebentar dan berniat melanjutkan dengan live streaming setelah pulang ke rumah.
Yah, bersyukur dengan adanya teknologi yang menjadi pilihan terbaik saat jarak
dan waktu tak bisa ditaklukkan.
Tapi
akhirnya, “kuy jadi aja”, sebuah pesan dari seorang sahabat seketika merubah
mendung menjadi cerah. Thanks, Fatin! And then she said, “Intan mau ikut juga
lho, nanti ketemu di sana.” Yeaay, sebahagia itu ternyata ketemu temen lama,
udah gitu ketemunya di salah satu tempat terbaik pula –majelis ilmu- salah satu
taman surga yang ada di dunia, katanya. Majelis yang menjanjikan ketenangan
bagi siapa-siapa yang mendatanginya.
Akhirnya kami pun memutuskan berangkat ke
Jogokariyan ba’da maghrib. Berusaha mengejar waktu untuk dapat mengikuti sholat
isya berjama’ah di sana. Ini kali pertama aku hadir di event kajian sebesar
ini, dengan para asatidz ternama berkumpul dalam satu panggung,
sebelum-sebelumnya belum pernah bisa hadir di agenda Muslim United 1 maupun 2.
Masyaa Allah, terbayang di Jogokariyan akan ramai sekali, dan nyatanya memang
seperti itu. Meski katanya tidak seramai agenda Muslim United kemarin. Tapi melihat
jama’ah memenuhi jalan-jalan sekitar Masjid Jogokariyan, halamannya, hingga
lantai 1 dan lantai 2, terharu nggak
sih? Persatuan ummat yang sudah jadi impian sedari dulu rasanya kian dekat
terwujudnya.
Dulu awal-awal di kampus, awal-awal belajar
berIslam lebih dalam, kadang masih menilai seseorang dari “ngaji di mana”
“ngaji sama ustadz siapa”. Yeah, that’s my bad. Pada akhirnya ustadz-ustadz
yang ku kira memiliki ‘jalan’ dakwah berbeda itu, kini berada di satu barisan
–Barisan Bangun Negeri. Benar memang, bahwa yang akan berisik dan gaduh saat
bertemu itu ya kumpulan uang-uang receh, kalau uang ratusan ribu ketemu di
dompet mah tenang-tenang saja.
Setelah mendengar bisik-bisik dari beberapa
orang di sebelah, kami pun memutuskan untuk ikut ke lantai 2. Berharap
mendapatkan tempat yang lebih lapang di sana. Berjalan di sela-sela barisan
jama’ah yang duduk di shaf jalan raya, sembari melirik ke arah panggung yang
berada di halaman Masjid Jogokariyan, berharap bisa duduk di barisan depan
panggung itu dan bisa menyimak secara langsung pemaparan dari para guru yang
dirindu. Ah, masih kalah rupanya berfastabiqul
khairat dengan jama’ah-jama’ah yang lain. Tentu mereka yang bisa duduk di
depan sana sudah datang sejak siang, atau mungkin sejak pagi?
Beberapa saat setelah kami sampai di lantai
2, adzan Isya berkumandang. Setelah iqamah, dan semua jama’ah siap, imam
mengucap basmalah lirih sebelum takbir. Refleks ku katakan “Ustadz Hanan”,
“Iya, biasanya cuma dengerin di youtube” temanku menimpali. Raka’at pertama
setelah membaca surah Al Fatihah, beliau membaca surah Al Qiyamah. Betapa
bacaan yang fasih dan merdu itu bisa begitu menyentuh hati, sayang sekali tak
semua ayatnya ku pahami maknanya huhuhu.
Acara inti pun dimulai tak lama setelah
sholat Isya, Ustadz Salim A Fillah yang langsung memimpin jalannya acara,
semacam moderator dan para asatidz bergantian menyampaikan pemaparan seperti
dalam talkshow interaktif.
Para asatidz bergantian satu persatu menuju
panggung. Beliau-beliau saling bersalaman satu sama lain, menebar senyum tulus
dengan gaya masing-masing. Persatuan umat ini nampak nyata ya :’). Tinggal bagaimana
kita mengikuti untuk bersama-sama berjuang, menurunkan ego, melapangkan
toleransi atas perbedaan pada hal-hal ‘cabang’.
sumber foto: instagram Ustadz @salimafillah |
Tak semua detail peristiwa kala itu bisa ku
rekam dalam untaian kata-kata. Karena kata tak cukup untuk menggambarkan betapa
indah dan hangatnya suasana malam itu di Jogokariyan, hangat dan sumuk juga sih, hehehe.
Sepertinya kalau ingin melihat lagi secara
detail acara Ngaji Akbar kemarin masih bisa diakses melalui akun youtube Masjid
Jogokariyan. Akan tetapi ada beberapa catatan yang ingin ku tulis ulang,
beberapa yang menurutku penting untuk digarisbawahi, diamalkan, dan
disebarluaskan. Mungkin ada poin penting yang terlewat untuk tercatat, karena
saking asyiknya mendengar dan memperhatikan pemaparan para asatidz. Atau ternyata
ada salah kutip atau salah catat, mohon maaf dan koreksinya huehue.
Setelah pengantar singkat dari Ustadz Salim
dan pemaparan mengenai Pangeran Diponegoro dari Ki Roni Sadewo, giliran Ustadz
Oemar Mita menyampaikan ‘speech’. Beliau
menyampaikan bahwa dalam perkara iman tak hanya penampilan yang diubah, tapi
perspektif berpikir juga. Karena cara berpikir penting agar kita tidak terjerumus dalam
kesalahan seperti iblis. Beliau menekankan bahwa pesan dakwah Rasulullah kepada
para sahabat kala itu adalah “Shalih is not enough”, menjadi shalih saja tidak cukup,
seorang mukmin juga harus mushlih. Minimal apabila ada kesalahan atau
kemaksiatan, ia merasa gelisah, merasa bahwa ini tidak benar.
“Apabila dakwah Rasulullah kala itu tidak
mengajarkan tentang menyeimbangkan antara ibadah dan membangun agama Allah,
maka tak ada para pejuang atau pahlawan yang terlahir. Tidak ada Pangeran Diponegoro, tidak ada Bung Tomo yang mengucapkan Allahu Akbar, dan tidak ada yang mengatakan bahwa sesungguhnya bangsa ini merdeka karena ridho Allah. Karena pahlawan-pahlawan
itu terlahir dari hasil dakwah Rasulullah. Rasulullah inspirasi bagi seluruh
mujahid di dunia.”, tegas Ustadz Oemar Mita.
Ada pula Habib Muhammad bin Anies,
menyampaikan bahwa kita itu tidak diminta untuk sabar dicambuk seperti Bilal,
kita tidak diminta sabar seperti Sumayyah, para asatidz cuma meminta kita untuk
#lesswaste, dimulai dari hal kecil seperti tidak membuang sampah sembarangan. Dimulai
dari masjid yang #lesswaste. Beliau, Habib binanies pun mengingatkan bahwa
dakwah Rasulullah itu mengajari kita untuk mendahulukan kepentingan orang lain
daripada kepentingan diri sendiri.
Selanjutnya ustadz Lukmanul Hakim
mengingatkan bahwa banyak orang saat ini mengaku sebagai umat Rasulullah, tapi
apakah kita sudah diakui sebagai umat Rasulullah? Karena pengakuan perlu
pembuktian. Pembuktian melalui seberapa kadar ittiba’ kita pada Rasulullah, seberapa kita meneladani sifat
al-amanah yang beliau teladankan. Atau seberapa kita menjadikan beliau
al-uswah. Banyak orang yang sibuk memberi contoh, tapi tidak “menjadi” contoh. Karena
memberi contoh itu mudah, menjadi contoh itu perlu perjuangan. Keteladanan!
Pada kesempatan itu hadir pula Ustadz Felix
Siauw, sebuah kejutan kecil sih karena foto beliau tidak terpampang dalam
poster publikasi. Kenapa kita baca sejarah? Karena ada ibrah/pelajaran di
dalamnya, Rasul pun mempelajari sejarah pendahulunya (para nabi dan rasul). Tidak
ada hal baru di dunia ini, karena sejarah berulang, tegas ustadz Felix Siauw. Beliau
dengan cara penyampaian penuh semangat, khas beliau, mengingatkan lagi bahwa
seorang pahlawan tidak mungkin lahir dalam kondisi yang ideal. Semakin tidak
ideal atau semakin sulit kondisi, maka akan terlahir pahlawan yang semakin
sempurna.
Memang, kalau kita baca sejarah, Rasulullah –insan
termulia, inspirator para pahlawan dan pejuang- justru lahir saat jazirah Arab
sedang dalam masa terburuknya, masa jahiliyyah. Saat perbuatan keji terjadi di
mana-mana, bahkan rumah suci, Baitullah, dipenuhi oleh berhala-berhala yang
dijadikan sesembahan selain Allah. Atau sejarah bangsa ini, pahlawan-pahlawan
terlahir saat bangsa ini sedang dalam perjuangannya melawan penjajahan. Ya,
pahlawan itu hadir di saat masa-masa sulit, saat kondisi tidak ideal.
Betapa pemaparan para asatidz malam itu
menjadi suntikan semangat untuk terus memperbaiki diri dan meningkatkan
kontribusi untuk bangsa ini. Hidup bukan untuk diri sendiri. Hidup dengan meneladani
sejarah para pahlawan, sejarah perjuangan umat-umat terdahulu, serta tetap
berjuang dalam kebaikan sesulit apa pun rintangan yang akan dihadapi nantinya.
Nasihat-nasihat pada malam itu tersempurnakan
dengan nasihat –pengingat- yang disampaikan oleh Ustadz Adi Hidayat. Pahlawan sejati
itu, ucap beliau, ialah ia yang meniatkan seluruh perjuangannya agar mendapatkan ridho Allah, lillah. Dasar spiritnya adalah fii sabilillah. Itulah yang membedakan
pahlawan yang punya iman, dengan pahlawan yang mengejar gelar dunia saja.
Kembali kita diingatkan hal mendasar dalam
hidup ini, iman. Sesungguhnya orang yang telah menanamkan iman dalam hatinya
serta mengikutinya dengan amal shalih, akan diberikan kabar gembira akan adanya
surga. Iman dijadikan oleh Allah sebagai setengah kunci surga. Selain itu Allah
jamin keamanan bagi orang yang beriman di dunia dan akhiratnya. Allah akan jamin pula kesuksesan urusannya,
kebahagiaannya, asal benar-benar beriman. Allah akan berikan ketenangan,
jaminan rizqi, seperti dalam kisah para pemuda di surah Al Kahfi yang melarikan
diri dari pemimpin dzalim kala itu untuk menyelamatkan imannya. Allah jamin
rizqi mereka, Allah berikan keamanan bagi mereka.
Allah akan
memberikan ketenangan, pada jiwa-jiwa orang beriman. Jadi kalau orang ngaku beriman tapi hatinya belum tenang,
ada sesuatu tentang imannya yang harus diperbaiki. Penyebab iman belum menerbitkan
ketenangan, karena iman di lisan belum diturunkan ke hati. Degg! Bisa jadi ini
yang bikin hati kadang gundah, bingung, huhuhu.
Lalu bagaimana ya caranya memperbaiki iman
kita? Ustadz Adi menjelaskan, orang beriman itu adalah orang yang aktivitasnya
dibimbing oleh iman. Jadi ia memiliki mata hanya untuk melihat yang baik-baik,
apabila terlihat yang tidak baik mata akan berpaling, karena iman dalam dada
mengingatkan untuk berpaling. Bila ingin mengaktifkan sel iman dalam dirimu,
kata ustadz Adi, tingkatkan takwamu dengan cara yang benar. Caranya? Yakni dengan
memperbanyak amal shalih. Karena setiap disebutkan takwa dalam Al Quran selalu
diikuti dengan penyebutan amal shalih. Jadi untuk meningkatkan iman bisa
dilakukan dengan memperbanyak amal shalih. Pilih amal shalih andalanmu, agar
kelak Allah bukakan pintu surga sesuai amalan tersebut.
Ustadz Adi juga menyampaiakan tentang satu
amalan yang sedang banyak diperebutkan akhir-akhir ini, apa itu? Ya, amalan ahlul quran, hamalatul quran. Orang berlomba-lomba untuk menghafalnya,
memperbanyak interaksi dengannya, karena memang keutamaannya sebesar itu. Ustadz
Adi menyebutkan amalan ahli quran ini sebagai amalan yang dapat membuka seluruh
pintu surga, malaikat menyambut dan mengucapkan selamat di setiap pintu surga. Dan
ahlul quran akan memasuki surga bersama keluarganya dengan mengenakan mahkota. Allahummarhamna bil quran.
Terakhir, bila kita tak mampu berlomba-lomba
dengan orang shalih dalam ibadahnya, maka berlomba-lombalah kita dengan ahli
maksiat dalam taubat/istighfar-nya. Sebuah pengingat. lagi-lagi yang
mengingatkan kita, ya memang kita mungkin cuma berbeda dalam memilih maksiat
apa yang kita jalani (karena kita manusia), tapi kita juga bisa memilih amal
apa yang bisa menjadi bekal kita, sebaik-baik bekal.
“Kalau soal rejeki, jalan sajaKalau soal ibadah, bergegaslah mengingat AllahKalau soal ampunan Allah, berlomba-lombalahKalau soal Allah tujuan kita (Allah ghayatuna), berlarilah menuju Allah.”-Ustadz Salim A Fillah
Semoga
Allah jaga selalu guru-guru kita, para asatidz, pewaris para nabi dalam ilmu
dan dakwahnya. Dan semoga kita tak hanya menjadi umat yang mengaku-ngaku umat
Rasulullah, tapi dengan segenap perjuangan
melalui apa pun potensi yang kita miliki menjadikan kita pantas menjadi umat
Rasulullah yang selalu kita damba syafa’atnya di akhirat nanti, dan barangkali
menjadikan kita pantas menjadi tetangga beliau
Shallallahu ‘alaihi wasallam
di surga kelak. Aamiin ya Rabb. (rsr)
Komentar
Posting Komentar